Mencintai Rasulullah Shalallaahu 'Alayhi Wasallam
Oleh : Muhammad Abduh Tuasikal, MSc
Segala
puji bagi Allah, Rabb semesta alam. Shalawat dan salam kepada Nabi
akhir zaman, kepada keluarga, para sahabat, dan orang-orang yang
mengikuti mereka dengan baik hingga akhir zaman.
Dengan
berbagai macam cara seseorang akan mencurahkan usahanya untuk
membuktikan cintanya pada kekasihnya. Begitu pula kecintaan pada Nabi
shallallahu ‘alaihi wa sallam. Setiap orang pun punya berbagai cara
untuk membuktikannya. Namun tidak semua cara tersebut benar, ada di sana
cara-cara yang keliru. Itulah yang nanti diangkat pada tulisan kali
ini. Semoga Allah memudahkan dan memberikan kepahaman.
Kewajiban Mencintai Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam
Allah Ta’ala berfirman,
قُلْ إِنْ كَانَ آَبَاؤُكُمْ وَأَبْنَاؤُكُمْ وَإِخْوَانُكُمْ
وَأَزْوَاجُكُمْ وَعَشِيرَتُكُمْ وَأَمْوَالٌ اقْتَرَفْتُمُوهَا
وَتِجَارَةٌ تَخْشَوْنَ كَسَادَهَا وَمَسَاكِنُ تَرْضَوْنَهَا أَحَبَّ
إِلَيْكُمْ مِنَ اللَّهِ وَرَسُولِهِ وَجِهَادٍ فِي سَبِيلِهِ
فَتَرَبَّصُوا حَتَّى يَأْتِيَ اللَّهُ بِأَمْرِهِ وَاللَّهُ لَا يَهْدِي
الْقَوْمَ الْفَاسِقِينَ
“Katakanlah:
“Jika bapak-bapak, anak-anak, saudara-saudara, isteri-isteri, kaum
keluargamu, harta kekayaan yang kamu usahakan, perniagaan yang kamu
khawatiri kerugiannya, dan tempat tinggal yang kamu sukai, adalah lebih
kamu cintai dari Allah dan Rasul-Nya dan dari berjihad di jalan-Nya,
maka tunggulah sampai Allah mendatangkan keputusan-Nya”. Dan Allah tidak
memberi petunjuk kepada orang-orang yang fasik.”
(QS. At Taubah: 24).
Ibnu Katsir rahimahullah mengatakan, “Jika semua hal-hal tadi lebih
dicintai daripada Allah dan Rasul-Nya, serta berjihad di jalan Allah,
maka tunggulah musibah dan malapetaka yang akan menimpa kalian.”[1]
Ancaman keras inilah yang menunjukkan bahwa mencintai Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam dari makhluk lainnya adalah wajib.
Bahkan tidak boleh seseorang mencintai dirinya hingga melebihi kecintaan pada nabinya. Allah Ta’ala berfirman,
النَّبِيُّ أَوْلَى بِالْمُؤْمِنِينَ مِنْ أَنْفُسِهِمْ وَأَزْوَاجُهُ أُمَّهَاتُهُمْ
“Nabi
itu (hendaknya) lebih utama bagi orang-orang mukmin dari diri mereka
sendiri.”
(QS. Al Ahzab: 6).
Syihabuddin Al Alusi rahimahullah
mengatakan, “Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tidaklah memerintahkan
sesuatu dan tidak ridho pada umatnya kecuali jika ada maslahat dan
mendatangkan keselamatan bagi mereka. Berbeda dengan jiwa mereka
sendiri. Jiwa tersebut selalu mengajak pada keburukan.”[2] Oleh karena
itu, kecintaan pada beliau mesti didahulukan daripada kecintaan pada
diri sendiri.
‘Abdullah bin Hisyam berkata, “Kami
pernah bersama Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan beliau memegang
tangan Umar bin Khaththab radhiyallahu ’anhu. Lalu Umar berkata, ”Wahai
Rasulullah, sungguh engkau lebih aku cintai dari segala sesuatu kecuali
terhadap diriku sendiri.”
Kemudian Nabi shallallahu ’alaihi wa sallam
berkata,
لاَ وَالَّذِى نَفْسِى بِيَدِهِ حَتَّى أَكُونَ أَحَبَّ إِلَيْكَ مِنْ نَفْسِكَ
”Tidak,
demi yang jiwaku berada di tangan-Nya (imanmu belum sempurna). Tetapi
aku harus lebih engkau cintai daripada dirimu sendiri.” Kemudian ’Umar
berkata, ”Sekarang, demi Allah. Engkau (Rasulullah) lebih aku cintai
daripada diriku sendiri.” Kemudian Nabi shallallahu ’alaihi wa sallam
berkata, ”Saat ini pula wahai Umar, (imanmu telah sempurna).”[3]
Bukti Cinta Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam
Pertama:
Mendahulukan dan mengutamakan beliau dari siapa pun.
Hal
ini dikarenakan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah makhluk
pilihan dari Allah Ta’ala. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam
bersabda,
إِنَّ اللَّهَ اصْطَفَى كِنَانَةَ مِنْ وَلَدِ إِسْمَاعِيلَ وَاصْطَفَى
قُرَيْشًا مِنْ كِنَانَةَ وَاصْطَفَى مِنْ قُرَيْشٍ بَنِى هَاشِمٍ
وَاصْطَفَانِى مِنْ بَنِى هَاشِمٍ
“Sesungguhnya
Allah telah memilih Kinanah yang terbaik dari keturunan Isma’il. Lalu
Allah pilih Quraisy yang terbaik dari Kinanah. Allah pun memilih Bani
Hasyim yang terbaik dari Quraisy. Lalu Allah pilih aku sebagai yang
terbaik dari Bani Hasyim.”[4]
Di antara bentuk
mendahulukan dan mengutamakan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dari
siapa pun yaitu apabila pendapat ulama, kyai atau ustadz yang menjadi
rujukannya bertentangan dengan hadits Nabi shallallahu ‘alaihi wa
sallam, maka yang didahulukan adalah pendapat Nabi shallallahu ‘alaihi
wa sallam. Sebagaimana yang dijelaskan oleh Imam Asy Syafi’i
rahimahullah, “Kaum muslimin telah sepakat bahwa siapa saja yang telah
jelas baginya ajaran Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, maka
tidak halal baginya untuk meninggalkannya karena perkataan yang
lainnya.”[5]
Kedua:
Membenarkan segala yang disampaikan oleh Nabi shallallahu ’alaihi wa sallam
Termasuk
prinsip keimanan dan pilarnya yang utama ialah mengimani kemaksuman
Nabi shallallahu ’alaihi wa sallam dari dusta atau buhtan (fitnah) dan
membenarkan segala yang dikabarkan beliau tentang perkara yang telah
berlalu, sekarang, dan akan datang. Karena Allah Ta’ala berfirman,
وَالنَّجْمِ إِذَا هَوَى
مَا ضَلَّ صَاحِبُكُمْ وَمَا غَوَى
وَمَا
يَنْطِقُ عَنِ الْهَوَى
إِنْ هُوَ إِلَّا وَحْيٌ يُوحَى
”Demi
bintang ketika terbenam. Kawanmu (Muhammad) tidak sesat dan tidak pula
keliru. Dan tiadalah yang diucapkannya itu (Al-Quran) menurut kemauan
hawa nafsunya. Ucapannya itu tiada lain hanyalah wahyu yang diwahyukan
(kepadanya).”
(QS. An Najm: 1-4)
Ketiga:
Beradab di sisi Nabi shallallahu ’alaihi wa sallam
Di
antara bentuk adab kepada Nabi shallallahu ’alaihi wa sallam adalah
memuji beliau dengan pujian yang layak baginya. Pujian yang paling
mendalam ialah pujian yang diberikan oleh Rabb-nya dan pujian beliau
terhadap dirinya sendiri, dan yang paling utama adalah shalawat dan
salam kepada beliau. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
الْبَخِيلُ الَّذِي مَنْ ذُكِرْتُ عِنْدَهُ فَلَمْ يُصَلِّ عَلَيَّ
“Orang yang bakhil (pelit) adalah orang yang apabila namaku disebut di sisinya, dia tidak bershalawat kepadaku.”[6]
Keempat:
Ittiba’ (mencontoh) Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam serta berpegang pada petunjuknya.
Allah Ta’ala berfirman,
قُلْ إِنْ كُنْتُمْ تُحِبُّونَ اللَّهَ فَاتَّبِعُونِي يُحْبِبْكُمُ اللَّهُ وَيَغْفِرْ لَكُمْ ذُنُوبَكُمْ
“Katakanlah:
“Jika kamu (benar-benar) mencintai Allah, ikutilah aku, niscaya Allah
mengasihi dan mengampuni dosa-dosamu”.
Ibnu Mas’ud radhiyallahu ‘anhu berkata,
اتَّبِعُوا، وَلا تَبْتَدِعُوا فَقَدْ كُفِيتُمْ، كُلُّ بِدْعَةٍ ضَلالَةٌ
“Ikutilah
(petunjuk Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam), janganlah membuat
bid’ah. Karena (ajaran Nabi) itu sudah cukup bagi kalian. Semua amalan
yang tanpa tuntunan Nabi (baca: bid’ah) adalah sesat.”[7]
Kelima:
Berhakim kepada ajaran Nabi shallallahu ’alaihi wa sallam
Sesungguhnya
berhukum dengan ajaran Nabi shallallahu ’alaihi wa sallam adalah salah
satu prinsip mahabbah (cinta) dan ittiba’ (mengikuti Nabi shallallahu
’alaihi wa sallam). Tidak ada iman bagi orang yang tidak berhukum dan
menerima dengan sepenuhnya syari’atnya. Allah Ta’ala berfirman,
فَلَا وَرَبِّكَ لَا يُؤْمِنُونَ حَتَّى يُحَكِّمُوكَ فِيمَا شَجَرَ
بَيْنَهُمْ ثُمَّ لَا يَجِدُوا فِي أَنْفُسِهِمْ حَرَجًا مِمَّا قَضَيْتَ
وَيُسَلِّمُوا تَسْلِيمًا
“Maka
demi Tuhanmu, mereka (pada hakekatnya) tidak beriman hingga mereka
menjadikan kamu hakim terhadap perkara yang mereka perselisihkan,
kemudian mereka tidak merasa dalam hati mereka sesuatu keberatan
terhadap putusan yang kamu berikan, dan mereka menerima dengan
sepenuhnya.”
Ibnu Taimiyah
rahimahullah mengatakan, “Setiap orang yang keluar dari ajaran dan
syariat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam maka Allah telah
bersumpah dengan diri-Nya yang disucikan, bahwa dia tidak beriman
sehingga ridha dengan hukum Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam
dalam segala yang diperselisihkan di antara mereka dari perkara-perkara
agama dan dunia serta tidak ada dalam hati mereka rasa keberatan
terhadap hukumnya.”[8]
Keenam:
Membela Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam
Membela
dan menolong Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah salah satu
tanda kecintaan dan pengagungan. Allah Ta’ala berfirman,
لِلْفُقَرَاءِ الْمُهَاجِرِينَ الَّذِينَ أُخْرِجُوا مِنْ دِيَارِهِمْ
وَأَمْوَالِهِمْ يَبْتَغُونَ فَضْلًا مِنَ اللَّهِ وَرِضْوَانًا
وَيَنْصُرُونَ اللَّهَ وَرَسُولَهُ أُولَئِكَ هُمُ الصَّادِقُونَ
“(Juga)
bagi orang fakir yang berhijrah yang diusir dari kampung halaman dan
dari harta benda mereka (karena) mencari karunia dari Allah dan
keridhaan-Nya dan mereka menolong Allah dan RasulNya. Mereka itulah
orang-orang yang benar.”
(QS. Al Hasyr: 8)
Di antara
contoh pembelaaan terhadap Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam seperti
diceritakan dalam kisah berikut:
Ketika umat Islam mengalami kekalahan,
Anas bin Nadhr pada perang Uhud mengatakan, ”Ya Allah, aku memohon ampun
kepadamu terhadap perbuatan para sahabat dan aku berlepas diri dari-Mu
dari perbuatan kaum musyrik.” Kemudian ia maju lalu Sa’ad menemuinya.
Anas lalu berkata, ”Wahai Sa’ad bin Mu’adz, surga. Demi Rabbnya Nadhr,
sesungguhnya aku mencium bau surga dari Uhud.” ”Wahai Rasulullah, aku
tidak mampu berbuat sebagaimana yang diperbuatnya,” ujar Sa’ad. Anas bin
Malik berkata, ”Kemudian kami dapati padanya 87 sabetan pedang, tikaman
tombak, atau lemparan panah. Kami mendapatinya telah gugur dan kaum
musyrikin telah mencincang-cincangnya. Tidak ada seorang pun yang
mengenalinya kecuali saudara perempuannya yang mengenalinya dari jari
telunjuknya.”[9]
Bentuk membela Nabi shallallahu ’alaihi wa sallam mengharuskan beberapa hal, di antaranya:
[1] Membela para sahabat Nabi –radhiyallahu ’anhum-
Rasulullah shallahu ’alaihi wa sallam bersabda,
لَا تَسُبُّوا أَحَدًا مِنْ أَصْحَابِي فَإِنَّ أَحَدَكُمْ لَوْ أَنْفَقَ
مِثْلَ أُحُدٍ ذَهَبًا مَا أَدْرَكَ مُدَّ أَحَدِهِمْ وَلَا نَصِيفَهُ
”Janganlah
mencaci maki salah seorang sahabatku. Sungguh, seandainya salah seorang
di antara kalian menginfakkan emas sebesar gunung Uhud, maka itu tidak
menyamai satu mud (yang diinfakkan) salah seorang mereka dan tidak pula
separuhnya.”[10]
Di antara hak-hak para sahabat adalah mencintai dan meridhoi mereka. Sebagaimana Allah Ta’ala berfirman,
وَالَّذِينَ جَاءُوا مِنْ بَعْدِهِمْ يَقُولُونَ رَبَّنَا اغْفِرْ لَنَا
وَلِإِخْوَانِنَا الَّذِينَ سَبَقُونَا بِالْإِيمَانِ وَلَا تَجْعَلْ فِي
قُلُوبِنَا غِلًّا لِلَّذِينَ آَمَنُوا رَبَّنَا إِنَّكَ رَءُوفٌ رَحِيمٌ
“Dan
orang-orang yang datang sesudah mereka (Muhajirin dan Anshor), mereka
berdoa: “Ya Rabb kami, beri ampunlah kami dan saudara-saudara kami yang
telah beriman lebih dulu dari kami, dan janganlah Engkau membiarkan
kedengkian dalam hati kami terhadap orang-orang yang beriman; Ya Rabb
kami, Sesungguhnya Engkau Maha Penyantun lagi Maha Penyayang.”
(QS. Al
Hasyr: 10)
Sungguh aneh jika ada yang mencela sahabat
sebagaimana yang dilakukan oleh Rafidhah (Syi’ah). Mereka sama saja
mencela Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Imam Malik dan selainnya
rahimahumullah mengatakan, “Sesungguhnya Rafidhah hanyalah ingin mencela
Rasul. Jika seseorang mengatakan bahwa orang itu jelek, maka berarti
sahabat-sahabatnya juga jelek. Jika seseorang mengatakan bahwa orang itu
sholih, maka sahabatnya juga demikian.”[11] Ibnu Taimiyah rahimahullah
mengatakan, “Adapun Rafidhah, maka merekalah orang-orang yang sering
mencela sahabat Nabi dan perkataan mereka. Hakikatnya, apa yang ada di
batin mereka adalah mencela risalah Muhammad.”[12]
[2] Membela para isteri Nabi, para Ummahatul Mu’minin –radhiyallahu ’anhunna-
Imam
Malik rahimahullah mengatakan, “Siapa saja yang mencela Abu Bakr, maka
ia pantas dihukum cambuk. Siapa saja yang mencela Aisyah, maka ia pantas
untuk dibunuh.” Ada yang menanyakan pada Imam Malik, ”Mengapa bisa
demikian?” Beliau menjawab, ”Barangsiapa mencela mereka, maka ia telah
mencela Al Qur’an karena Allah Ta’ala berfirman (agar tidak lagi
menyebarkan berita bohong mengenai Aisyah, pen),
يَعِظُكُمَ اللَّهُ أَنْ تَعُودُوا لِمِثْلِهِ أَبَدًا إِنْ كُنْتُمْ مُؤْمِنِينَ
“Allah
memperingatkan kamu agar (jangan) kembali memperbuat yang seperti itu
selama-lamanya, jika kamu orang-orang yang beriman.”
(QS. An Nur:
17) ”[13]
Ketujuh:
Membela ajaran (sunnah) Nabi shallallahu ’alaihi wa sallam
Termasuk
membela ajaran beliau shallallahu ’alaihi wa sallam ialah memelihara
dan menyebarkannya, menjaganya dari ulah kaum batil, penyimpangan kaum
yang berlebih-lebihan dan ta’wil (penyimpangan) kaum yang bodoh, begitu
pula dengan membantah syubhat kaum zindiq dan pengecam sunnahnya, serta
menjelaskan kedustaan-kedustaan mereka. Rasulullah shallallahu ’alaihi
wa sallam telah mendo’akan keceriaan wajah bagi siapa yang membela panji
sunnah ini dengan sabdanya,
نَضَّرَ اللَّهُ امْرَأً سَمِعَ مِنَّا شَيْئًا فَبَلَّغَهُ كَمَا سَمِعَهُ فَرُبَّ مُبَلِّغٍ أَوْعَى مِنْ سَامِعٍ
“Semoga
Allah memberikan kenikmatan pada seseorang yang mendengar sabda kami
lalu ia menyampaikannya sebagaimana ia mendengarnya. Betapa banyak orang
yang diberi berita lebih paham daripada orang yang mendengar.”[14]
Kedelapan: Menyebarkan ajaran Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam
Di
antara kesempurnaan cinta dan pengagungan kepada Nabi shallallahu
’alaihi wa sallam ialah berkeinginan kuat untuk menyebarkan ajaran
(sunnah)nya. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
بَلِّغُوا عَنِّي وَلَوْ آيَةً
“Sampaikanlah
dariku walaupun satu ayat.”[15] Yang disampaikan pada umat adalah yang
berasal dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bukan sesuatu yang tidak
ada tuntunannya.
Bukti Cinta Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam Bukanlah dengan Berbuat Bid’ah
Sebagaimana
telah kami sebutkan di atas bahwa di antara bukti cinta Nabi
shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah dengan menyebarkan sunnah (ajaran)
beliau. Oleh karenanya, konsekuensi dari hal ini adalah dengan mematikan
bid’ah, kesesatan dan berbagai ajaran menyimpang lainnya. Karena
sesungguhnya melakukan bid’ah (ajaran yang tanpa tuntunan) dalam agama
berarti bukan melakukan kecintaan yang sebenarnya, walaupun mereka
menyebutnya cinta."[16]
Oleh karenanya, Nabi shallallahu ‘alaihi wa
sallam bersabda,
مَنْ أَحْدَثَ فِى أَمْرِنَا هَذَا مَا لَيْسَ مِنْهُ فَهُوَ رَدٌّ
“Barangsiapa membuat suatu perkara baru dalam agama kami ini yang tidak ada asalnya, maka perkara tersebut tertolak.”[17]
Kecintaan
pada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam yang sebenarnya adalah dengan
tunduk pada ajaran beliau, mengikuti jejak beliau, melaksanakan perintah
dan menjauhi larangan serta bersemangat tidak melakukan penambahan dan
pengurangan dalam ajarannya."[18]
Contoh cinta Nabi
shallallahu ‘alahi wa sallam yang keliru adalah dengan melakukan bid’ah
maulid nabi. Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah mengatakan, “Adapun
melaksanakan perayaan tertentu selain dari hari raya yang disyari’atkan
(yaitu Idul Fithri dan Idul Adha) seperti perayaan pada sebagian malam
dari bulan Rabi’ul Awwal (yang disebut dengan malam Maulid Nabi),
perayaan pada sebagian malam Rojab, hari ke-8 Dzulhijjah, awal Jum’at
dari bulan Rojab atau perayaan hari ke-8 Syawal -yang dinamakan orang
yang sok pintar (alias bodoh) dengan ’Idul Abror-; ini semua adalah
bid’ah yang tidak dianjurkan oleh para salaf (sahabat yang merupakan
generasi terbaik umat ini) dan mereka juga tidak pernah
melaksanakannya.”[19]
Nantikan pembahasan kami tentang
perayaan Maulid Nabi, sejarah dan pandangan ulama mengenai perayaan
tersebut. Semoga Allah mudahkan.
- Tafsir Al Qur’an Al ‘Azhim, Ibnu Katsir, 7/164, Muassasah Al Qurthubah.
- Ruhul Ma’ani, Syihabuddin Al Alusi, 16/42, Mawqi’ At Tafaasir.
- HR. Bukhari no. 6632.
- HR. Muslim no. 2276, Watsilah bin Al Asqo’
- I’lamul Muwaqi’in ‘an Robbil ‘Alamin, Ibnu Qayyim Al Jauziyah, 1/7, Darul Jail, 1973.
- HR. Tirmidzi no. 3546 dan Ahmad (1/201). At Tirmidzi mengatakan hadits
ini hasan shohih ghorib. Syaikh Al Albani mengatakan hadits ini shahih
- Diriwayatkan oleh Ath Thobroniy dalam Al Mu’jam Al Kabir no. 8770. Al
Haytsamiy mengatakan dalam Majma’ Zawa’id bahwa para perowinya adalah
perawi yang dipakai dalam kitab shohih.
- Majmu’ Al Fatawa, Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah, 28/471, Darul Wafa’, cetakan ketiga, tahun 1426 H.
- HR. Bukhari no. 2805, 4048 dan Muslim no. 1903.
- HR. Muslim no. 2541.
- Minhajus Sunnah An Nabawiyah, Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah, 7/459, Muassasah Qurthubah, cetakan pertama, tahun 1406 H.
- Minhajus Sunnah An Nabawiyah, 3/463.
- Ash Shorim Al Maslul ‘ala Syatimir Rosul, Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah,
hal. 568, Dar Ibnu Hazm, cetakan pertama, tahun 1417 H.
- HR. Abu Daud no. 3660, At Tirmidz no. 2656, Ibnu Majah no. 232 dan
Ahmad (5/183). Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini shahih.
Lihat makna hadits ini dalam Faidul Qodir, Al Munawi, 6/370, Mawqi’
Ya’sub.
- HR. Bukhari no. 3461
- Lihat penjelasan dalam tulisan Mahabbatun Nabi wa Ta’zhimuhu (yang
terdapat dalam kumpulan risalah Huququn Nabi baina Ijlal wal Ikhlal),
‘Abdul Lathif bin Muhammad Al Hasan, hal. 89, Maktabah Al Mulk Fahd,
cetakan pertama, 1422 H.
- HR. Bukhari no. 20 dan Muslim no. 1718
- Lihat Mahabbatun Nabi wa Ta’zhimuhu, hal. 89.
- Majmu’ Fatawa, 25/298.
Muhammad Abduh Tuasikal, MSc
Pernah mengenyam pendidikan S1 di Teknik Kimia UGM
Yogyakarta dan S2 Polymer Engineering di King Saud University Riyadh.
Pernah menimba ilmu diin dari Syaikh Sholeh Al Fauzan, Syaikh Sa'ad Asy
Syatsri, dan Syaikh Sholeh Al 'Ushoimi. Aktivitas beliau sebagai
Pimpinan Pesantren Darush Sholihin Gunungkidul, Pengasuh Rumaysho.Com,
serta Pimpinan Redaksi Muslim.Or.Id.
Sumber: http://rumaysho.com/jalan-kebenaran/bukti-cinta-nabi-yang-benar-dan-keliru-867