Senin, 02 Februari 2015

Bershalawat


««•»»
BERSHALAWAT UNTUK RASULULLAH SHALALLAAHU 'ALAYHI WASALLAM.

“Sesungguhnya Allah dan para malaikat-Nya berselawat (memberi rahmat) kepada Rasulullah Shalallaahu 'Alayhi Wasallam (oleh karena itu) wahai orang-orang yang beriman berselawatlah kamu (meminta rahmat) untuk Rasulullah Shalallaahu 'Alayhi Wasallam dan ucapkanlah salam dengan penuh penghormatan terhadapnya.”
(QS. Al-Ahzab 56)

Ibnu Abbas RA mengatakan bahwa makna shalawat disini adalah pemberkahan atas Rasulullah Rasulullah Shalallaahu 'Alayhi Wasallam. Al-Mubarrad menegaskan bahwa kedudukan shalawat adalah simbol kasih sayang, sedangkan dari Allah merupakan rahmat dan dari malaikat berupa kerendahan diri sekaligus permohonan rahmat dari Allah untuk Nabi akhir zaman, Muhammad Rasulullah Shalallaahu 'Alayhi Wasallam.

Oleh karena ayat di atas turun kepada Rasulullah Shalallaahu 'Alayhi Wasallam, maka Allah Subhanahu wa Ta'ala memerintahkan para sahabat Rasulullah agar memberi salam kepadanya semasa hidupnya juga kepada umatnya saat menziarahi kuburannya atau saat nama Rasulullah Shalallaahu 'Alayhi Wasallam disebut.

Salam mempunyai tiga pengertian :

    "Selamat kepada engkau ya Rasulullah" yang berarti keselamatan menyertaimu.
    As-Salam melindungimu dan memeliharamu. As-Salam adalah satu diantara nama-nama Allah yang baik (Asma'ul Husna)
    Salam yang berarti penyerahan dan ketundukan.

Hukum memberikan shalawat kepada Rasulullah Shalallaahu 'Alayhi Wasallam adalah wajib sekali seumur hidup, sedangkan selebihnya adalah sunnah. Menurut Imam Syafi'i yang diwajibkan adalah ketika di dalam shalat (dalam tasyahud akhir) sedangkan lainnya merupakan ibadah sunnah. Imam Malik masih memberi kelonggaran. Apabila tidak mengucapkan shalawat dalam tasyahud maka shalatnya sah, karena itu hanya sunnah saja, walaupun meninggalkankannya adalah tidak bagus.

Baginda Rasulullah Shalallaahu 'Alayhi Wasallam mengajari umatnya waktu dan tempat yang terbaik untuk membaca shalawat kepadanya. Saat beliau mendengar seseorang berdoa dalam shalatnya dan tidak bershalawat kepadanya,

beliau mengatakan;
secepat itukah!”,

lalu beliau bersabda:
"Apabila salah seorang dari kamu berdoa dan shalat maka ucapkanalah kalimat hamdalah/tahmid kemudian bershalawatlah dan setelah itu berdoalah sesuka hatimu.”
(HR. Abu Dawud).

Umar ibn Al-Khattab RA berkata, “Doa dan shalat menggantung di antara bumi dan langit. Keduanya tidak akan naik kepada Allah sampai pelakunya bershalawat kepada Nabi Muhammad Shalallaahu 'Alayhi Wasallam".
( H.R. Turmudzi).

Ibnu Atha' mengatakan, “Doa mempunyai rukun, sayap, sebab dan waktu. Apabila tercukupi rukunnnya maka kuatlah, apabila kuat sayapnya maka akan terbang keatas langit, apabila tepat waktunya beruntunglah, dan apabila dilakukan sebabnya maka sukseslah. Rukun berdoa adalah kehadiran hati, kerendahan diri, ketenangan, kekhusyukan dan bergantungnya hati kepada Allah Subhanahu wa Ta'ala. Sedangkan sayap doa adalah kejujuran dan waktunya adalah ketika sahur (sepertiga malam terakhir) dan sebabnya adalah bershalawat kepada Rasulullah Shalallaahu 'Alayhi Wasallam".

Di antara waktu sunnahnya bershalawat kepada Rasulullah Shalallaahu 'Alayhi Wasallam adalah ketika mendengar namanya disebut, ditulis atau setelah azan berkumandang. Ini sesuai dengan sabdanya, “betapa pelitnya seseorang apabila disebut namaku dan tidak bershalawat kepadaku”
(HR. Turmudzi).

Makna Shalawat.

Shalawat secara bahasa berakar dari kata shalat yang berarti do’a, permohonan ampun, rahmat dan pujian. Sehingga, ibadah shalat disebut dengan shalat karena di dalamnya terdapat berbagai doa dan ungkapan permohonan ampun. Demikian juga dengan shalawat, maknanya adalah pujian, rahmat, doa dan ampunan yang ditujukan kepada Rasulullah Shalallaahu 'Alayhi Wasallam.

Dalam ayat di atas disebutkan bahwa Allah, para Malaikat dan umat manusia bershalawat kepada Rasulullah Shalallaahu 'Alayhi Wasallam. Lalu, apakah makna masing-masing shalawat tersebut?

Shalawat dari Allah.

Makna Allah bershalawat kepada Rasulullah Shalallaahu 'Alayhi Wasallam adalah bahwa Allah memuji dan melimpahkan rahmat-Nya kepada Rasulullah Shalallaahu 'Alayhi Wasallam. Juga berarti bahwa Allah memberikan penghormatan kepada Rasulullah Shalallaahu 'Alayhi Wasallam. Shalawat dari Allah menunjukkan betapa Allah memuji Rasulullah Shalallaahu 'Alayhi Wasallam, meninggikan derajat Rasulullah Shalallaahu 'Alayhi Wasallam di atas para Rasul dan Nabi lainnya, serta memberikan kedudukan dan tempat yang mulia di sisi-Nya.

Shalawatnya Malaikat.

Maknanya adalah para malaikat mendoakan Rasulullah Shalallaahu 'Alayhi Wasallam dan memohon ampunan untuk umatnya. Para malaikat juga memuji Rasulullah Shalallaahu 'Alayhi Wasallam dengan puji-pujian yang menunjukkan keagungan dan kemuliaan Rasulullah Shalallaahu 'Alayhi Wasallam di sisi Allah.

Shalawat dari manusia kepada Rasulullah Shalallaahu 'Alayhi Wasallam.

Ketika kita membaca shalawat untuk Rasulullah Shalallaahu 'Alayhi Wasallam, artinya kita memohon agar Allah memberikan penghormatan yang layak kepada Rasulullah Shalallaahu 'Alayhi Wasallam. Bukan karena Rasulullah Shalallaahu 'Alayhi Wasallam membutuhkan doa dari kita, tetapi justru dengan membaca shalawat kita-lah yang akan mendapatkan balasannya dari Allah. Manfaat dan faedah sholawat akan kembali kepada kita sendiri.

Imam Al-Bukhari t menyebutkan di dalam kitab shahih beliau penafsiran seorang ulama tabi’in, Abu ‘Aliyah t, beliau menjelaskan, “Maksud dari shalawat Allah kepada beliau adalah pujian Allah terhadap Nabi Muhammad Shalallaahu 'Alayhi Wasallam di hadapan para malaikat. Sedangkan maksud shalawat malaikat dan yang lainnya kepada beliau adalah mereka memohon kepada Allah agar senantiasa mencurahkan shalawat kepada beliau.”

Adapun makna salam kepada beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam, diterangkan oleh Al-Majd Al-Fairuz Abadi dalam kitab beliau “Ash-Shalaatu wal Busyaru fish Shalati ‘ala Khairil Baysar”, “As-Salam -yang mana ini adalah salah satu nama dari nama-nama Allah- atasmu, maksudnya Engkau, wahai Rasulullah Shalallaahu 'Alayhi Wasallam tidak akan lepas dari kebaikan dan barakah serta akan selalu selamat dari kecelakaan dan kesengsaraan. Karena, nama Allah ta’ala hanyalah disebutkan kepada sesuatu yang diharapkan terkumpulkan padanya seluruh kebaikan dan barakah serta terlepasnya dari sesuatu kekurangan dan kerusakan. Bisa juga makna as-salam di sini adalah as-salamah (keselamatan), jadi maknanya adalah semoga ketetapan Allah terhadapmu, wahai Nabi, adalah keselamatan, yakni selamat dari celaan dan kekurangan.”

Dasar Hukum Bershalawat

Dibawah ini adalah dalil-dalil tentang shalawat baik dari Al-Quran maupun Al-Hadis Nabi Shalallaahu 'Alayhi Wasallam, serta para ulama

Al-Qur’an

Surat Al-Ahzâb ayat 43:
هـو الذى يـصلى عليكم ومـلائكـته ليخرجكم من الـظلـمات إلى النور وكان بالمؤمـنين رحـيمـا

Artinya: "Dia-lah yang memberi rahmat kepadamu dan malaikat-Nya (memohon ampunan untukmu) supaya Dia mengeluarkan kamu dari kegelapan kepada cahaya yang terang".

Surah Al-Ahzâb ayat 56:
إن الله وملائـكته يصـلون على النبى يا أيها الذين أمـنوا صـلوا عـليه وسـلـموا تـسـليـما

Artinya: "Sesungguhnya Allah dan malaikat-malaikat-Nya bershalawat untuk Rasulullah Shalallaahu 'Alayhi Wasallam. Hai orang-orang yang beriman, bershalawatlah kamu untuk Nabi dan ucapkanlah salam penghormatan kepadanya".

Maksud Allah bershalawat kepada Rasulullah Shalallaahu 'Alayhi Wasallam adalah dengan memberi rahmat-Nya; bershalawat malaikat kepada Rasulullah Shalallaahu 'Alayhi Wasallam dengan memintakan ampunan; sedangkan bershalawatnya orang-orang mu'min kepada Rasulullah Shalallaahu 'Alayhi Wasallam. dengan berdoa supaya diberi rahmat seperti dengan per-kataan "Allâhumma Shalli 'alâ Muhammad"

Adapun salam kepada Rasulullah Shalallaahu 'Alayhi Wasallam adalah dengan mengucapkan "Assalâmu Alayka Ayyuh al-Nabiyy."

Al-Hadits

صـلوا عـلى فإن صـلاتكـم عـلى زكـاة لـكـم

Artinya: "Bershalawatlah kamu kepadaku, karena sha-lawatmu itu menjadi zakat (penghening jiwa pembersih dosa) untukmu." (HR. IbnMurdaweh)

سمعت رسول الله صـلـعـم يقـول لا تجعـلوا بيوتكم قـبورا ولا تجـعلـوا قـبرى عـيـدا وصلوا على فإن صلاتكـم تـبلغـنى حـيث كــنتم

Artinya: "Saya mendengar, bahwa

Rasulullah Shalallaahu 'Alayhi Wasallam bersabda:
"Janganlah kamu menjadikan rumah-rumahmu sebagai kuburan, dan janganlah kamu menjadikan kuburanku sebagai per-sidangan hari raya. Bershalawatlah kepadaku, karena shalawatmu sampai kepadaku dimana saja kamu berada."
(HR. Al-Nasâ'i, Abû Dâud dan dishahihkan oleh Al-Nawâwî).

Diterangkan oleh Abû Dzar Al-Harawî, bahwa perintah shalawat ini terjadi pada tahun kedua Hijriyah. Ada yang berkata pada malam Isra' dan ada pula yang berkata dalam bulan Sya'ban. Dan oleh karena itulah bulan Sya'ban dinamai dengan "Syahrush Shalâti" karena dalam bulan itulah turunnya ayat 56, Surah ke-33 Al-Ahzâb.

Para ulama berbeda pendapat tentang perintah yang dikandung oleh ayat "Shallû 'Alayhi wa Sallimû Taslîmân = bershalawatlah kamu untuknya dan bersalamlah kamu kepadanya," apakah untuk sunnat apakah untuk wajib.
Kemudian apakah shalawat itu fardlu 'ain ataukah fardlu kifayah. Kemudian apakah membaca shalawat itu setiap kita mendengar orang menyebut namanya ataukah tidak.

Asy-Syâfi'i berpendapat bahwa bershalawat di dalam duduk akhir di dalam sembahyang, hukumnya fardlu. Jumhur ulama berpendapat bahwa shalawat itu adalah sunnat. Kata Al-Syakhâwî : "Pendapat yang kami pegangi ialah wajibnya kita membaca shalawat dalam duduk yang akhir dan cukup sekali saja dibacakan di dalam suatu majelis yang di dalam majelis itu berulang kali disebutkan nama Rasul.

Al-Hâfizh Ibn Hajar Al-Asqalânî telah menjelaskan tentang madzhab-madzhab atau pendapat-pendapat ulama mengenai hukum bershalawat dalam kitabnya "Fath al-Bârî", sebagaimana di bawah ini. Para ulama yang kenamaan, mempunyai sepuluh macam madzhab (pendirian) dalam masalah bershalawat kepada Rasulullah Shalallaahu 'Alayhi Wasallam:

Pertama, madzhab Ibnu Jarîr Al-Thabarî. Beliau berpendapat, bahwa bershalawat kepada Rasulullah Shalallaahu 'Alayhi Wasallam, adalah suatu pekerjaan yang disukai saja. Kedua, madzhab Ibnu Qashshar. Beliau berpen-dapat, bahwa bershalawat kepada Nabi suatu ibadat yang diwajibkan. Hanya tidak ditentukan qadar banyaknya. Jadi apabila seseorang telah bershalawat, biarpun sekali saja. Terlepaslah ia dari kewajiban. Ketiga, madzhab Abû Bakar Al-Râzî dan Ibnu Hazmin. Beliau-beliau ini berpendapat, bahwa bershalawat itu wajib dalam seumur hidup hanya sekali. Baik dilakukan dalam sembahyang, maupun di luarnya. Sama hukumnya dengan mengucapkan kalimat tauhid. Selain dari ucapan yang sekali itu hukumnya sunnat. Keempat, madzhab Al-Imâm Al-Syâfi'i. Imam yang besar ini berpendapat, bahwa shalawat itu wajib dibacakan dalam tasyahhud yang akhir, yaitu antara tasyahhud dengan salam.

Kelima, madzhab Al-Imâm Asy-Sya'bî dan Ishâq. Beliau-beliau ini berpendapat, bahwa shalawat itu wajib hukumnya dalam kedua tasyahud, awal dan akhir. Keenam, madzhab Abû Ja'far Al-Baqîr. Beliau ini berpendapat, bahwa shalawat itu wajib dibaca di dalam sembahyang. Cuma beliau tidak menentukan tempatnya. Jadi, boleh di dalam tasyahhud awal dan boleh pula di dalam tasyahhud akhir. Ketujuh, madzhab Abû Bakar Ibnu Bakir. Beliau ini berpendapat, bahwa shalawat itu wajib kita membacanya walaupun tidak ditentukan bilangannya. Kedelapan, madzhab Al-Thahawî dan segolongan ulama Hanafiyah. Al-Thahawî berpendapat bershalawat itu diwajibkan pada tiap-tiap kita mendengar orang menyebut nama Muhammad. Paham ini di ikuti oleh Al-Hulaimî dan oleh segolongan ulama Syâfi'iyyah. Kesembilan, madzhab Al-Zamakhsyarî. Al-Zamakhsyarî berpendapat, bahwa shalawat itu dimustikan pada tiap-tiap majelis. Apabila kita duduk dalam suatu majelis, wajiblah atas kita membaca Shalawat kepada Nabi, satu kali. Kesepuluh, madzhab yang dihikayatkan oleh Al-Zamkhsyarî dari sebagian ulama Madzhab ini berpendapat bahwa bershalawat itu diwajibkan pada tiap-tiap kita mendoa.
Untuk mengetahui manakah paham yang harus dipegangi dalam soal ini, baiklah kita perhatikan apa yang telah diuraikan oleh Al-Imâm Ibn Al-Qayyim dalam kitabnya Jalâul Afhâm, katanya : "Telah bermufakat semua ulama Islam atas wajib bershalawat kepada Nabi, walaupun mereka berselisih tentang wajibnya di dalam sembahyang. Segolongan ulama tidak mewajibkan bershalawat di dalam sembahyang. Di antaranya ialah, Al-Thahawî, Al-Qâdhî al-'Iyâd dan Al-Khaththabî. Demikianlah pendapat para fuqaha selain dari Al-Syâfi'i."

Dengan uraian yang panjang Al-Imâm Ibn Al-Qayyim membantah paham yang tidak mewajibkan shalawat kepada Nabi Shalallaahu 'Alayhi Wasallam di dalam sembahyang dan menguatkan paham Al-Syâfi'i yang mewajibkannya.

Al-Imâm Ibn Al-Qayyim berkata: "Tidaklah jauh dari kebenaran apabila kita menetapkan bahwa shalawat kepada Nabi itu wajib juga dalam tasyahhud yang pertama. Cuma hendaklah shalawat dalam tasyahhud yang pertama, diringkaskan. Yakni dibaca yang pendek. Maka apabila kita renungkan faham-faham yang telah tersebut itu, nyatalah bahwa bershalawat kepada Nabi itu disuruh, dituntut, istimewa dalam sembahyang dan ketika mendengar orang menyebut nama Nabi Muhammad Shalallaahu 'Alayhi Wasallam.
Berkata Al-Faqîh Ibn Hajar Al-Haitamî dalam Al-Zawâjir: "Tidak bershalawat kepada Nabi Muhammad Shalallaahu 'Alayhi Wasallam ketika orang menyebut namanya, adalah merupakan dosa besar yang keenampuluh."
الا أخـبركـم بأبخـل الناس ؟ قـالـوا بلى يا رسـول الله قال من ذكـرت عـنده فـلم يصلى فذلك أبخـل الـنـاس

Artinya: "Apakah tidak lebih baik saya khabarkan ke-padamu tentang orang yang dipandang sebagai manusia yang sekikir-kikirnya? Menjawab sahabat : Baik benar, ya Rasulullah. Maka Nabi-pun bersabda : Orang yang disebut namaku dihadapannya, maka ia tidak bershalawat ke-padaku, itulah manusia yang sekikir-kikirnya." (HR. Al-Turmudzû dari 'Ali).

Kemudian hadis Nabi yang lain
أيـما قوم جـلـسـوا فأطالـوا الجـلـوس ثم تفـرقوا قـبل أن يذكـروا الله تعـلى ولايصـلوا على الـنـبيه كـانت عليهم ترة من الله إن شـا ء الله عــذبهم وإن شـاء

Artinya: "Kaum mana saja yang duduk dalam suatu majelis dan melamakan duduknya dalam majelis itu, kemudian mereka bubar dengan tidak menyebut nama Allah dan tidak bershalawat kepada Nabi, niscaya mereka menghadapi kekurangan dari Allah. Jika Allah meng-hendaki, Allah akan mengadzab mereka dan jika Allah menghendaki, Allah akan memberi ampunan kepada mereka. " (HR Al-Turmudzî).

Shalawat Yang Paling Afdhal


Shalawat yang paling utama dan paling sempurna adalah shalawat yang beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam ajarkan sendiri kepada para sahabat ketika mereka bertanya. Dalam hadits-hadits berikut ini kita bisa melihat bagaimana Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak sekedar mengajarkannya, bahkan beliau memerintahkannya. Ini menunjukkan bahwa lafal-lafal tersebut adalah yang paling utama dan sempurna. Karena, beliau tidaklah memilih untuk diri beliau kecuali yang mulia dan sempurna. Demikian penjelasan dari Al-Hafizh Ibnu Hajar dalam Fathul Bari.

Sebagian lafal-lafal shalawat yang paling baik adalah shalawat yang beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam ajarkan dalam hadits-hadits berikut ini:

    Dari ‘Abdurrahman bin Abu Laila mengatakan, “Sahabat Ka’b bin ‘Ujrah pernah menemuiku dan mengatakan, maukah engkau kuberi sebuah hadiah yang saya dengar dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam?”. Saya pun menjawab, “Tentu, berikanlah hadiah tersebut kepadaku.” Ia pun mengatakan, saya pernah bertanya kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Wahai Rasulullah, bagaimana bershalawat atas kalian ahlul bait? Sesungguhnya Allah telah mengajarkan kepada kita cara mengucapkan salam. Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam pun menjawab, ucapkanlah:
اللَّهُمَّ صَلِّ عَلَى مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِ مُحَمَّدٍ، كَمَا صَلَّيْتَ عَلَى إِبْرَاهِيمَ وَعَلَى آلِ إِبْرَاهِيمَ، إِنَّكَ حَمِيدٌ مَجِيدٌ ، اللَّهُمَّ بَارِكْ عَلَى مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِ مُحَمَّدٍ، كَمَا بَارَكْتَ عَلَى إِبْرَاهِيمَ وَعَلَى آلِ إِبْرَاهِيمَ، إِنَّكَ حَمِيدٌ مَجِيدٌ

“Ya Allah, limpahkanlah shalawat atas Muhammad dan keluarga Muhammad, sebagaimana Engkau telah melimpahkannya kepada Ibrahim dan keluarganya. Sesungguhnya Engkau Maha Terpuji Lagi Maha Mulia. Ya Allah, limpahkanlah barakah kepada Muhammad dan keluarga Muhammad, sebagaimana Engkau limpahkan kepada Ibrahim dan keluarga Ibrahim. Sesungguhnya Engkau Maha Terpuji Lagi Maha Mulia.” [H.R. Al-Bukhari].

    Dari Abu Sa’id Al-Khudri z, beliau mengatakan, “Kami bertanya kepada Rasulullah `, wahai Rasulullah, [yang Anda ajarkan] ini adalah cara bersalam atasmu, lalu bagaimana kami bershalawat? Beliau pun menjawab, “Ucapkan:
اللَّهُمَّ صَلِّ عَلَى مُحَمَّدٍ عَبْدِكَ وَرَسُولِكَ، كَمَا صَلَّيْتَ عَلَى إِبْرَاهِيمَ، وَبَارِكْ عَلَى مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِ مُحَمَّدٍ، كَمَا بَارَكْتَ عَلَى إِبْرَاهِيمَ وَآلِ إِبْرَاهِيمَ

“Ya Allah, limpahkanlah shalawat atas Muhammad, hamba dan Rasul-Mu, sebagaimana Engkau limpahkan kepada Ibrahim. Dan limpahkanlah barakah kepada Muhammad dan keluarga Muhammad, sebagaimana Engkau limpahkan kepada Ibrahim dan keluarga Ibrahim.” [H.R. Al-Bukhari]

    Dari Abu Humaid As-Sa’idi z, beliau mengatakan, “Para sahabat bertanya kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Wahai Rasulullah, bagaimana bershalawat atasmu? Beliau pun menjawab:
اللَّهُمَّ صَلِّ عَلَى مُحَمَّدٍ وَأَزْوَاجِهِ وَذُرِّيَّتِهِ، كَمَا صَلَّيْتَ عَلَى آلِ إِبْرَاهِيمَ، وَبَارِكْ عَلَى مُحَمَّدٍ وَأَزْوَاجِهِ وَذُرِّيَّتِهِ، كَمَا بَارَكْتَ عَلَى آلِ إِبْرَاهِيمَ ، إِنَّكَ حَمِيدٌ مَجِيدٌ

“Ya Allah, limpahkanlah shalawat atas Muhammad, istri-istri, dan keturunan beliau, sebagaimana Engkau limpahkan kepada keluarga Ibrahim. Dan limpahkanlah barakah kepada Muhammad, istri-istri dan keturunan beliau, sebagaimana Engkau limpahkan kepada keluarga Ibrahim. Sesungguhnya Engkau Maha Terpuji Lagi Maha Penyayang.” [H.R. Al-Bukhari].

Ini adalah sebagian shalawat yang diriwayatkan dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam di dalam Shahih Al-Bukhari, masih ada shalawat-shalawat lain yang diriwayatkan dari beliau yang belum bisa kami sebutkan. Sebagaimana kita jelaskan di muka, bershalawat dengan lafal-lafal yang diriwayatkan dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam jauh lebih baik daripada shalawat yang lain.

Ada satu hal yang patut kita perhatikan dari riwayat di atas. Para sahabat bertanya kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tentang lafal shalawat yang benar di dalam hadits-hadits yang lewat, hal ini menunjukkan betapa besarnya semangat mereka untuk mengikuti Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Yang mana semangat ini kian memudar dalam barisan kaum muslimin. Kita dapati sebagian muslimin lebih menyukai shalawat-shalawat yang tidak diajarkan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.

Shalawat Yang Paling Ringkas

Pembaca sekalian, semoga Allah merahmati kita semua, Imam An-Nawawi mengatakan dalam kitab “Al-Adzkar”, “Apabila kalian bershalawat kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, hendaknya kalian menyebutkan shalawat dan salam sekaligus. Jangan menyebutkan salah satunya saja, ‘shallallahu ‘alaihi’ saja atau ‘’alaihis salam’ saja. Dari penjelasan di atas bisa dipahami bahwasanya lafal shalawat yang paling ringkas hendaknya terdiri dari dua bagian: shalawat dan salam. Janganlah kita mengurangi salah satunya sebagaimana jelas dalam keterangan Imam An-Nawawi di atas. Hal ini sejalan dengan firman Allah ta’ala:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا صَلُّوا عَلَيْهِ وَسَلِّمُوا تَسْلِيمًا

Hai orang-orang yang beriman, bershalawatlah kalian untuk Nabi dan salam kepadanya.” [Al-Ahzab:56].

Dua lafal shalawat dan salam yang ringkas dan seringkali kita dengar, yaitu shallallahu ‘alaihi wa sallam dan ‘alaihish shalatu was salam (semoga shalawat dan salam tercurah kepada beliau) adalah contoh shalawat yang baik karena telah mencakup shalawat dan salam sekaligus. Namun, yang harus kita perhatikan di sini, seringkali orang menyingkat dengan kata ‘saw’ di dalam penulisan. Sebenarnya, bagaimana bimbingan para ulama mengenainya?

Banyak ulama yang menganjurkan untuk menghindari penyingkatan shalawat menjadi beberapa huruf-huruf. Di antaranya adalah Imam Ibnu Shalah dalam kitab beliau ‘Ulumul Hadits, beliau mengatakan, “Seyogianya seorang penulis hadits selalu menjaga penulisan shalawat dan salam kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam ketika menyebut beliau. Janganlah dia bosan mengulang-ulang shalawat ketika mengulang penyebutan beliau. Karena, dalam penulisan shalawat dan salam tersebut terdapat faedah yang besar…” Kemudian beliau melanjutkan, “… Dan hendaknya dalam menulis shalawat menghindari dua hal: ditulis kurang dengan menyingkat menjadi dua huruf dan sejenisnya, atau menulisnya dengan mengurangi makna, seperti tanpa menulis ‘salam’.”

Keutamaan Shalawat.

Untuk mengetahui keutamaan apakah yang diperoleh orang-orang yang bershalawat, baiklah kita perhatikan maksud-maksud hadis yang di bawah ini, bersabda Nabi Shalallaahu 'Alayhi Wasallam :
مـن صلى على مـرة واحـدة صـلى الله عـليه بها عـشـرا

Artinya: "Barangsiapa bershalawat untukku sekali, niscaya Allah bershalawat untuknya sepuluh kali." (HR. Muslim dari Abû Hurairah).
إن لله تعالى مـلائكـة سـياحـين فى الأرض يبلغـونني عـن أمـتى الـسـلام

Artinya: "Bahwasanya bagi Allah Tuhan semesta alam ada beberapa malaikat yang diperintah berjalan di muka bumi untuk memperhatikan keadaan hamba-Nya. Mereka me-nyampaikan kepadaku (sabda Nabi) akan segala salam yang diucapkan oleh ummatku." (HR. Ahmad. Al-Nasâ'i dan Al-Darimî).

مـن صلى عـلى حين يصبح عـشـرا ويمسى عـشرا أدركـته شفاعتى يوم القـيـامة

Artinya: "Barangsiapa bershalawat untukku dipagi hari sepuluh kali dan di petang hari sepuluh kali, mendapatlah ia syafa'atku pada hari qiamat." (HR. Al-Thabrânî)
اولى الـنـاس بى يوم الـقـيامة أكـثرهـم على صـلاة

Artinya: "Manusia yang paling utama terhadap diriku pada hari qiamat, ialah manusia yang paling banyak bershalawat untukku." (HR. Al-Turmudzî).

Membaca shalawat adalah amal ibadah yang memiliki keutamaan sangat banyak. Karena banyaknya, maka tidaklah cukup untuk disebutkan semuanya dalam tulisan yang singkat ini. Di sini hanya disebutkan beberapa keutamaan shalawat, di antaranya :

    Shalawat Nabi adalah hal yang sangat istimewa. Sebab, Allah dan para malaikat pun bershalawat kepada Rasulullah. Keistimewaan itulah yang membuat shalawat berbeda dengan ibadah yang lain.

Inilah satu sisi makna shalawat yang sangat dalam. Dengan kita membaca shalawat untuk Rasulullah, berarti kita akan mendapatkan keistimewaan dan kehormatan karena kita bisa ikut melakukan apa yang dilakukan oleh Allah dan para malaikat. Dengan membaca shalawat, kita juga yang akan mendapat tetesan kemuliaan dari keagungan Rasulullah.

    Memperbanyak membaca shalawat akan mendekatkan kita kepada Rasulullah. Semakin banyak kita membaca shalawat, maka nama kita akan tercatat dalam nama orang-orang yang paling utama dan dekat di sisi Rasulullah. Rasulullah bersabda, “Sungguh, orang yang paling utama di sisiku kelak pada hari kiamat adalah orang yang paling banyak membaca shalawat kepadaku”. (HR. Tirmidzi)

    Membaca shalawat sekali saja, akan mendapatkan balasan dari Allah sepuluh kali lipat.

Rasulullah bersabda, “Barang siapa membaca shalawat kepadaku sekali, maka Allah akan membalasnya sepuluh kali lipat.”. (HR. Ibnu Majah)

    Membaca sholawat akan mendatangkpan kebaikan, meninggikan derajat kita di sisi Allah dan dapat menghapuskan perbuatan dosa kita. Rasulullah bersabda, “Barangsiapa membaca shalawat kepadaku sekali, maka akan ditulis untuknya sepuluh kebaikan, dilebur sepuluh kejelekan, dan ditinggikan sepuluh derajat”. (HR. Nasa’i)
    Membaca shalawat termasuk amal ibadah, sedangkan orang yang tidak bersholawat termasuk orang yang pelit di sisi Rasulullah. Rasulullah bersaba, “Sesungguhnya orang yang bakhil (pelit) adalah mereka yang tidak membaca shalawat ketika mendengar nama-ku disebut”. (HR. Tirmidzi)
    Sholawat dapat menuntun kita menuju ke jalan surga, sebaliknya orang yang tidak mau membaca sholawat dikhawatirkan ia akan tersesat dari jalan surga. Rasulullah bersabda, “Orang yang mendengar namaku disebut tetapi ia tidak bershalawat, ia akan tersesat dari jalan surga”. (HR. Baihaqi).
    Diusahakan dalam setiap majelis, jangan sampai terlewatkan untuk membaca shalawat. Karena Rasulullah bersabda, “Tidaklah suatu kaum duduk dalam majelis, lalu mereka tidak berdzikir kepada Allah dan tidak membaca shalawat kepada nabi mereka, kecuali majelis itu akan terputus di hari kiamat.” (HR. Ahmad).

Inilah beberapa keutamaan shalawat yang dapat terangkum dalam tulisan ini. Tentunya, masih banyak keutamaan shalawat yang lain yang tidak dapat dihitung satu persatu. Semua keutamaan shalawat tersebut menunjukkan keagungan diri Rasulullah yang tidak akan pernah habis untuk digali dan dipelajari.

Hikmah Shalawat
 Bersumberkan daripada At Taiyimi katanya, ”Apabila mereka berselawat ke atas Rasulullah Shalallaahu 'Alayhi Wasallam maka para malaikat pun turut berselawat bersama mereka sehingalah mereka selesai berselawat.”

    Satu kali selawat Allah akan membalas dengan 10 kali selawat untuknya.
    Satu kali selawat Allah akan mengangkatnya dengan 10 darjat.
    Malaikat juga akan turut membaca selawat ke atas orang yang membaca selawat untuk Rasulullah Shalallaahu 'Alayhi Wasallam
    Doa yang disertai dengan selawat akan diperkenankan oleh Allah Taa’la tetapi doa yang tidak disertai dengan selawat ianya akan tergantung di antara langit dan bumi.
    Akan mendapat tempat yang dekat dengan Rasulullah Shalallaahu 'Alayhi Wasallam di hari kiamat nanti.
    Allah akan menggandakan limpah kurnia dan rahmat-Nya pada mereka yang berselawat untuk Rasulullah Shalallaahu 'Alayhi Wasallam
    Dapat membersihkan hati, jiwa dan roh kotor yang berselaput di dalam dada.
    Dapat membuktikan kecintaan dan kasih sayang kita terhadap Rasulullah.
    Mewariskan kecintaan Rasulullah terhadap umatnya.
    Akan terselamat dan terpelihara daripada segala apa yang mendukacitakan dari hal keduniaan mahu pun akhirat.
    Dengan membaca selawat akan dapat mengingatkan kembali apa-apa yang telah kita lupa.
    Akan mendapat nur yang bersinar-sinar di hati apabila kita berselawat 100 kali dengan bersungguh-sungguh.
    Mendapat ganjaran pahala seperti memerdekakan seorang hamba bila kita berselawat sebanyak 10 kali.
    Allah akan meluas dan melapangkan rezekinya dari sumber-sumber yang tidak diketahui.
    Allah akan memberatkan timbangan amalnya pada neraca timbangan di hari kiamat nanti.
    Mendapat keberkatan dari Allah bagi dirinya dan juga keluarganya.
    Mendapat rasa kasih sayang dari hati-hati orang mukmin terhadapnya.
    Akan mendekatkan dirinya dengan Telaga Haudh (Telaga Rasulullah Shalallaahu 'Alayhi Wasallam) serta dapat pula meminumnya di hari kiamat nanti.
    Dapat melepaskan diri seseorang itu dari tergelincir semasa melalui titian Sirat dan ia dengan selamat menuju ke syurga.

Imam Ibnu Mandah dalam "al-Fawaaid", Imam al-Ashbahaani dalam "at-Targhib", Imam ad-Dailami dalam "Musnad al-Firdaus" dan Imam al-Baihaqi dalam "Hayatul Anbiya" meriwayatkan satu hadits daripada Sayyidina Anas r.a.,

bahawa Junjungan Rasulullah Shalallaahu 'Alayhi Wasallam bersabda:
"Sesiapa bersholawat ke atasku 100 kali pada hari Jumaat dan malam Jumaat, nescaya ditunaikan Allah baginya 100 hajat, 70 dari hajat-hajat akhirat dan 30 dari hajat-hajat dunia. Kemudian Allah wakilkan seorang malaikat untuk menghadapku dengan membawa sholawat-sholawat tersebut dalam kuburku sebagaimana menghadap orang membawa hadiah kepada kamu, bahawasanya ilmu/pengetahuanku setelah mati sama seperti ilmu/pengetahuanku sewaktu aku hidup."

Dari Ibnu Mas’ud ra,

Rasulullah Shalallaahu 'Alayhi Wasallam bersabda:
Orang yang pantas berada di sisiku pada hari kiamat adalah orang yang memperbanyak shalawat atasku.
(HR. Tirmidzi)

Shalawat yang berasal dari kata al-Shalah, secara etimologi mempunyai arti yaitu do’a dan rahmat. Secara lebih khusus, shalawat mempunyai makna rahmat Allah Subhanahu wa Ta'ala yang disertai pemuliaan-Nya atas Nabi Muhammad Shalallaahu 'Alayhi Wasallam. Namun, sebagian jumhur mentafsirkan bahwa shalawat berarti rahmat yang datang dari Allah Subhanahu wa Ta'ala, dan pengampunan dosa dari malaikat, serta tunduk dan do’a dari selain keduanya seperti manusia, hewan, hingga benda mati.

Hadist yang tesebut di atas, mengingatkan kita akan urgensi dan keutamaan shalawat atas Nabi Muhammad Shalallaahu 'Alayhi Wasallam. Sebagai seorang muslim, sudah sepatutnya kita tunduk dan memuliakan junjungan nabi kita Rasulullah Shalallaahu 'Alayhi Wasallamatas apa yang telah beliau lakukan untuk umatnya semasa hidup. Shalawat atas beliau adalah satu dari sekian banyak wasilah atau cara untuk memuliakan beliau. Jangankan kita manusia yang notabene adalah umat beliau, Allah Subhanahu wa Ta'ala dan malaikat-Nya pun juga beshalawat kepada beliau.

Allah Subhanahu wa Ta'ala befirman dalam al-Qur’an yang bunyinya:
“Sesungguhnya Allah dan para malaikat-Nya bershalawat atas nabi. Hai orang-orang yang beriman! Bershalawatlah kamu atas nabi dengan penuh penghormatan kepadanya.”
(QS Al Ahzab : 56)

Allah Subhanahu wa Ta'ala dengan segala kekuasaan-Nya telah mengutus Rasulullah Shalallaahu 'Alayhi Wasallam untuk menyampaikan risalah-Nya, dan menjadikannya rahmatan lil ‘alamien, serta pembawa berita gembira bagi orang-orang mu’min, dan pemberi syafa’at bagi umat pilihannya. Maka, sudah menjadi kewajiban seorang muslim dan seluruh umat Nabi Muhammad Shalallaahu 'Alayhi Wasallam untuk bershalawat atasnya sebagai bentuk rasa tunduk dan penghormatan kepada beliau.

Orang yang selalu bershalawat atas Nabi Muhammad Shalallaahu 'Alayhi Wasallam akan merasakan fadhilah dan keutamaan dari shalawat tersebut.

Ada beberapa hadist yang menjelaskan fadhilah dan keutamaan dari shalawat, satu diantaranya berbunyi “Barangsiapa yang bersholawat atasku sekali, maka Allah akan bersholawat untuknya sepuluh kali."
(HR. Muslim, Ahmad dan perawi hadits yang tiga).

Dalam hadist lainnya, Rasulullah Shalallaahu 'Alayhi Wasallam bersabda:
Barangsiapa yang bersholawat untukku di waktu pagi sepuluh kali dan di waktu sore sepuluh kali, maka ia berhak mendapatkan syafa'atku."
(HR. Thabarani)

Namun, barangsiapa yang melalaikan dan enggan untuk bershalawat atas Nabi Muhammad Shalallaahu 'Alayhi Wasallam, maka ia juga akan merasakan akibat dan dampak dari kelalaiannya itu.

Rasulullah Shalallaahu 'Alayhi Wasallam bersabda:
Termasuk orang yang bakhil adalah orang yang apabila namaku disebut ia tidak bershalawat atasku.
(HR. Tirmidzi)

Inilah sebagian fadhilah bagi orang-orang yang sering bershalawat atas Nabi Muhammad Shalallaahu 'Alayhi Wasallam dan celaan bagi yang melalaikannya. Wallahu a’lam bish shawab.

Ibnu Jauzi dalam kitab al-Busthan menulis :

"Apabila ada orang dalam suatu majelis pertemuan tida membaca shalawat kepada Nabi Shalallaahu 'Alayhi Wasallam, maka ia akan keluar dari majelis itu dengan bau tak sedap. Sebaliknya jika orang yang keluar dari suatu majelis sambil membaca shalawat, maka baunya akan lebih harum daripada minyak wangi, sebab Rasulullah Shalallaahu 'Alayhi Wasallam adalah manusia yang paling harum diantara yang harum, yang paling suci diantara orang-orang suci. Jika Nabi Shalallaahu 'Alayhi Wasallam sedang menghadiri suatu majelis dan berbicara diantara mereka, maka majelis itu penuh dengan aroma Misik."

Besar sekali pahala dan kehebatan serta fadlilah shalawat kepada Nabi Shalallaahu 'Alayhi Wasallam. Hendaklah orang beriman selalu mengucapkan shalawat, karena Rasulullah Shalallaahu 'Alayhi Wasallam adalah perantara yang agung dari seluruh rahmat dan kenikmatan yang telah diterima manusia.

Akan sangat utama apabila orang yang membaca shalawat dalam keadaan suci. Didahului dengan berwudlu, menghadap kiblat dan dalam keadaan tafakur mensifati keagungan Nabi Shalallaahu 'Alayhi Wasallam. Mentartilkan bacaannya dan tidak tergesa-gesa.

Abi Naufal (16/7/2013)
Sumber: http://keluargaumarfauzi.blogspot.com/2013/01/shalawat.html

Rabu, 07 Januari 2015

Shalawatullah ‘alaika

Keagungan Nabi dalam Barzanji

Yaa Nabi salam ‘alaika
Wahai Nabi, semoga kedamaian selalu tercurahkan kepadamu

 
Yaa Rasul salam ‘alaika
Wahai Rasul, semoga kedamaian selalu tercurahkan kepadamu

 
Yaa habib salam ‘alaika
Wahai sang kekasih, semoga kedamaian selalu tercurahkan kepadamu

 
Shalawatullah ‘alaika  

Semoga kemulyaan dari Allah selalu dilimpahkan kepadamu

Syair itu begitu akrab di telinga masyarakat Muslim Indonesia. Setiap saat, baik di rumah, surau, majelis taklim, maupun masjid, syair tersebut dikumandangkan untuk memuji Nabi Muhammad SAW.

Apalagi pada bulan Rabiul Awal, yang merupakan tahun kelahiran Nabi Muhammad SAW, pembacaan syair-syair pujian kepada Rasulullah, baik Diba’ Barzanji, Burdah, Simthuddurar (Maulid Habsyi), bergema dalam berbagai kegiatan keagamaan. Tidak saja di Indonesia, tetapi juga sering dibaca umat Islam di Asia Tenggara dalam berbagai upacara keagamaan. Dan syair maulid Diba’ Barzanji, Burdah, Simthuddurar dan lainnya, kini dibukukan dalam satu buku yang diberi nama Syaraf al-Anam.

Para ulama memandang peringatan Maulid Nabi ini sebagai bid’ah atau perbuatan yang di zaman Nabi tidak ada, namun termasuk bid’ah hasanah (bid’ah yang baik) yang diperbolehkan dalam Islam.

Banyak memang amalan seorang muslim yang pada zaman Nabi tidak ada namun sekarang dilakukan umat Islam, antara lain: berzanjen, diba’an, yasinan, tahlilan (bacaan Tahlilnya, misalnya, tidak bid’ah sebab Rasulullah sendiri sering membacanya), mau’izhah hasanah pada acara temanten dan Muludan.

Dalam Madarirushu’ud Syarhul Barzanji dikisahkan,

Rasulullah SAW bersabda:
"Siapa menghormati hari lahirku, tentu aku berikan syafa'at kepadanya di Hari Kiamat."

Sahabat Umar bin Khattab secara bersemangat mengatakan: “Siapa yang menghormati hari lahir Rasulullah sama artinya dengan menghidupkan Islam!”

Dirangkum dari sumber-sumber:
http://ponpesaswaja.blogspot.com/2013/06/memperingati-maulid-nabi.html
https://www.facebook.com/notes/aduka-panji-alam-official-fans-club/asal-usul-kitab-berzanji/207843065979933

Did You Know?


DID YOU KNOW?

“Muhammad adalah manusia paling agung yang pernah menginjakkan kakinya di bumi.”, dikatakan Sir George Shaw, dalam "The Genuine Islam”.
"Pilihan saya untuk menempatkan Muhammad pada urutan teratas – dari tokoh-tokoh dunia — mungkin mengejutkan semua pihak, tapi dialah satu-satunya tokoh yang sukses; baik dalam tataran sekuler maupun agama.” kata Michael H. Hart, dalam "The 100: A Ranking of The Most Influential Persons in History"

Rasulullah Shalallaahu 'Alayhi Wasallam memang sosok pribadi yang paling agung. Tetapi tahukah Anda apa sebab keagungannya yang begitu besar itu? Apakah keagungan itu tumbuh dari kedudukannya sebagai Nabi yang dipenuhi dengan mukjizat-mukjizat Ilahi yang sangat dahsyat? Atau karena beliau sebagai manusia biasa yang diutus Allah untuk menjadi teladan agar kita dapat meneladaninya?
Tiga aspek keagungan Rasulullah, yaitu: – Perencana Terjitu – Guru Terhebat – Negosiator Terulung

Sumber: http://www.untukku.com/artikel-untukku/muhammad-saw-mengapa-begitu-agung-untukku.html

Mencintai Rasulullah


Mencintai Rasulullah Shalallaahu 'Alayhi Wasallam

Oleh : Muhammad Abduh Tuasikal, MSc

Segala puji bagi Allah, Rabb semesta alam. Shalawat dan salam kepada Nabi akhir zaman, kepada keluarga, para sahabat, dan orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik hingga akhir zaman.

Dengan berbagai macam cara seseorang akan mencurahkan usahanya untuk membuktikan cintanya pada kekasihnya. Begitu pula kecintaan pada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Setiap orang pun punya berbagai cara untuk membuktikannya. Namun tidak semua cara tersebut benar, ada di sana cara-cara yang keliru. Itulah yang nanti diangkat pada tulisan kali ini. Semoga Allah memudahkan dan memberikan kepahaman.

Kewajiban Mencintai Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam

Allah Ta’ala berfirman,

قُلْ إِنْ كَانَ آَبَاؤُكُمْ وَأَبْنَاؤُكُمْ وَإِخْوَانُكُمْ وَأَزْوَاجُكُمْ وَعَشِيرَتُكُمْ وَأَمْوَالٌ اقْتَرَفْتُمُوهَا وَتِجَارَةٌ تَخْشَوْنَ كَسَادَهَا وَمَسَاكِنُ تَرْضَوْنَهَا أَحَبَّ إِلَيْكُمْ مِنَ اللَّهِ وَرَسُولِهِ وَجِهَادٍ فِي سَبِيلِهِ فَتَرَبَّصُوا حَتَّى يَأْتِيَ اللَّهُ بِأَمْرِهِ وَاللَّهُ لَا يَهْدِي الْقَوْمَ الْفَاسِقِينَ

“Katakanlah: “Jika bapak-bapak, anak-anak, saudara-saudara, isteri-isteri, kaum keluargamu, harta kekayaan yang kamu usahakan, perniagaan yang kamu khawatiri kerugiannya, dan tempat tinggal yang kamu sukai, adalah lebih kamu cintai dari Allah dan Rasul-Nya dan dari berjihad di jalan-Nya, maka tunggulah sampai Allah mendatangkan keputusan-Nya”. Dan Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang fasik.”
(QS. At Taubah: 24).

Ibnu Katsir rahimahullah mengatakan,  “Jika semua hal-hal tadi lebih dicintai daripada Allah dan Rasul-Nya, serta berjihad di jalan Allah, maka tunggulah musibah dan malapetaka yang akan menimpa kalian.”[1] Ancaman keras inilah yang menunjukkan bahwa mencintai Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dari makhluk lainnya adalah wajib.

Bahkan tidak boleh seseorang mencintai dirinya hingga melebihi kecintaan pada nabinya. Allah Ta’ala berfirman,

النَّبِيُّ أَوْلَى بِالْمُؤْمِنِينَ مِنْ أَنْفُسِهِمْ وَأَزْوَاجُهُ أُمَّهَاتُهُمْ

“Nabi itu (hendaknya) lebih utama bagi orang-orang mukmin dari diri mereka sendiri.”
(QS. Al Ahzab: 6).

Syihabuddin Al Alusi rahimahullah mengatakan, “Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tidaklah memerintahkan sesuatu dan tidak ridho pada umatnya kecuali jika ada maslahat dan mendatangkan keselamatan bagi mereka. Berbeda dengan jiwa mereka sendiri. Jiwa tersebut selalu mengajak pada keburukan.”[2] Oleh karena itu, kecintaan pada beliau mesti didahulukan daripada kecintaan pada diri sendiri.

‘Abdullah bin Hisyam berkata, “Kami pernah bersama Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan beliau memegang tangan Umar bin Khaththab radhiyallahu ’anhu. Lalu Umar berkata, ”Wahai Rasulullah, sungguh engkau lebih aku cintai dari segala sesuatu kecuali terhadap diriku sendiri.”

Kemudian Nabi shallallahu ’alaihi wa sallam berkata,

لاَ وَالَّذِى نَفْسِى بِيَدِهِ حَتَّى أَكُونَ أَحَبَّ إِلَيْكَ مِنْ نَفْسِكَ

”Tidak, demi yang jiwaku berada di tangan-Nya (imanmu belum sempurna). Tetapi aku harus lebih engkau cintai daripada dirimu sendiri.” Kemudian ’Umar berkata, ”Sekarang, demi Allah. Engkau (Rasulullah) lebih aku cintai daripada diriku sendiri.” Kemudian Nabi shallallahu ’alaihi wa sallam berkata, ”Saat ini pula wahai Umar, (imanmu telah sempurna).”[3]

Bukti Cinta Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam

Pertama:
Mendahulukan dan mengutamakan beliau dari siapa pun.

Hal ini dikarenakan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah makhluk pilihan dari Allah Ta’ala. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

إِنَّ اللَّهَ اصْطَفَى كِنَانَةَ مِنْ وَلَدِ إِسْمَاعِيلَ وَاصْطَفَى قُرَيْشًا مِنْ كِنَانَةَ وَاصْطَفَى مِنْ قُرَيْشٍ بَنِى هَاشِمٍ وَاصْطَفَانِى مِنْ بَنِى هَاشِمٍ

“Sesungguhnya Allah telah memilih Kinanah yang terbaik dari keturunan Isma’il. Lalu Allah pilih Quraisy yang terbaik dari Kinanah. Allah pun memilih Bani Hasyim yang terbaik dari Quraisy. Lalu Allah pilih aku sebagai yang terbaik dari Bani Hasyim.”[4]

Di antara bentuk mendahulukan dan mengutamakan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dari siapa pun yaitu apabila pendapat ulama, kyai atau ustadz yang menjadi rujukannya bertentangan dengan hadits Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, maka yang didahulukan adalah pendapat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Sebagaimana yang dijelaskan oleh Imam Asy Syafi’i rahimahullah, “Kaum muslimin telah sepakat bahwa siapa saja yang telah jelas baginya ajaran Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, maka tidak halal baginya untuk meninggalkannya karena perkataan yang lainnya.”[5]

Kedua:
Membenarkan segala yang disampaikan oleh Nabi shallallahu ’alaihi wa sallam

Termasuk prinsip keimanan dan pilarnya yang utama ialah mengimani kemaksuman Nabi shallallahu ’alaihi wa sallam dari dusta atau buhtan (fitnah) dan membenarkan segala yang dikabarkan beliau tentang perkara yang telah berlalu, sekarang, dan akan datang. Karena Allah Ta’ala berfirman,

وَالنَّجْمِ إِذَا هَوَى
 مَا ضَلَّ صَاحِبُكُمْ وَمَا غَوَى
وَمَا يَنْطِقُ عَنِ الْهَوَى
إِنْ هُوَ إِلَّا وَحْيٌ يُوحَى

”Demi bintang ketika terbenam. Kawanmu (Muhammad) tidak sesat dan tidak pula keliru. Dan tiadalah yang diucapkannya itu (Al-Quran) menurut kemauan hawa nafsunya. Ucapannya itu tiada lain hanyalah wahyu yang diwahyukan (kepadanya).”
(QS. An Najm: 1-4)

Ketiga:
Beradab di sisi Nabi shallallahu ’alaihi wa sallam

Di antara bentuk adab kepada Nabi shallallahu ’alaihi wa sallam adalah memuji beliau dengan pujian yang layak baginya. Pujian yang paling mendalam ialah pujian yang diberikan oleh Rabb-nya dan pujian beliau terhadap dirinya sendiri, dan yang paling utama adalah shalawat dan salam kepada beliau. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

الْبَخِيلُ الَّذِي مَنْ ذُكِرْتُ عِنْدَهُ فَلَمْ يُصَلِّ عَلَيَّ

“Orang yang bakhil (pelit) adalah orang yang apabila namaku disebut di sisinya, dia tidak bershalawat kepadaku.”[6]

Keempat:
Ittiba’ (mencontoh) Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam serta berpegang pada petunjuknya.

Allah Ta’ala berfirman,

قُلْ إِنْ كُنْتُمْ تُحِبُّونَ اللَّهَ فَاتَّبِعُونِي يُحْبِبْكُمُ اللَّهُ وَيَغْفِرْ لَكُمْ ذُنُوبَكُمْ

“Katakanlah: “Jika kamu (benar-benar) mencintai Allah, ikutilah aku, niscaya Allah mengasihi dan mengampuni dosa-dosamu”.
(QS. Ali Imron [3]:31)

Ibnu Mas’ud radhiyallahu ‘anhu berkata,

اتَّبِعُوا، وَلا تَبْتَدِعُوا فَقَدْ كُفِيتُمْ، كُلُّ بِدْعَةٍ ضَلالَةٌ

“Ikutilah (petunjuk Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam), janganlah membuat bid’ah. Karena (ajaran Nabi) itu sudah cukup bagi kalian. Semua amalan yang tanpa tuntunan Nabi (baca: bid’ah) adalah sesat.”[7]

Kelima:
Berhakim kepada ajaran Nabi shallallahu ’alaihi wa sallam

Sesungguhnya berhukum dengan ajaran Nabi shallallahu ’alaihi wa sallam adalah salah satu prinsip mahabbah (cinta) dan ittiba’ (mengikuti Nabi shallallahu ’alaihi wa sallam). Tidak ada iman bagi orang yang tidak berhukum dan menerima dengan sepenuhnya syari’atnya. Allah Ta’ala berfirman,

فَلَا وَرَبِّكَ لَا يُؤْمِنُونَ حَتَّى يُحَكِّمُوكَ فِيمَا شَجَرَ بَيْنَهُمْ ثُمَّ لَا يَجِدُوا فِي أَنْفُسِهِمْ حَرَجًا مِمَّا قَضَيْتَ وَيُسَلِّمُوا تَسْلِيمًا

“Maka demi Tuhanmu, mereka (pada hakekatnya) tidak beriman hingga mereka menjadikan kamu hakim terhadap perkara yang mereka perselisihkan, kemudian mereka tidak merasa dalam hati mereka sesuatu keberatan terhadap putusan yang kamu berikan, dan mereka menerima dengan sepenuhnya.”
(QS. An-Nisa’ [4]:65)

Ibnu Taimiyah rahimahullah mengatakan, “Setiap orang yang keluar dari ajaran dan syariat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam maka Allah telah bersumpah dengan diri-Nya yang disucikan, bahwa dia tidak beriman sehingga ridha dengan hukum Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam segala yang diperselisihkan di antara mereka dari perkara-perkara agama dan dunia serta tidak ada dalam hati mereka rasa keberatan terhadap hukumnya.”[8]

Keenam:
Membela Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam

Membela dan menolong Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah salah satu tanda kecintaan dan pengagungan. Allah Ta’ala berfirman,

لِلْفُقَرَاءِ الْمُهَاجِرِينَ الَّذِينَ أُخْرِجُوا مِنْ دِيَارِهِمْ وَأَمْوَالِهِمْ يَبْتَغُونَ فَضْلًا مِنَ اللَّهِ وَرِضْوَانًا وَيَنْصُرُونَ اللَّهَ وَرَسُولَهُ أُولَئِكَ هُمُ الصَّادِقُونَ

“(Juga) bagi orang fakir yang berhijrah yang diusir dari kampung halaman dan dari harta benda mereka (karena) mencari karunia dari Allah dan keridhaan-Nya dan mereka menolong Allah dan RasulNya. Mereka itulah orang-orang yang benar.”
(QS. Al Hasyr: 8)

Di antara contoh pembelaaan terhadap Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam seperti diceritakan dalam kisah berikut:

Ketika umat Islam mengalami kekalahan, Anas bin Nadhr pada perang Uhud mengatakan, ”Ya Allah, aku memohon ampun kepadamu terhadap perbuatan para sahabat dan aku berlepas diri dari-Mu dari perbuatan kaum musyrik.”  Kemudian ia maju lalu Sa’ad menemuinya. Anas lalu berkata, ”Wahai Sa’ad bin Mu’adz, surga. Demi Rabbnya Nadhr, sesungguhnya aku mencium bau surga dari Uhud.” ”Wahai Rasulullah, aku tidak mampu berbuat sebagaimana yang diperbuatnya,” ujar Sa’ad. Anas bin Malik berkata, ”Kemudian kami dapati padanya 87 sabetan pedang, tikaman tombak, atau lemparan panah. Kami mendapatinya telah gugur dan kaum musyrikin telah mencincang-cincangnya. Tidak ada seorang pun yang mengenalinya kecuali saudara perempuannya yang mengenalinya dari jari telunjuknya.”[9]

Bentuk membela Nabi shallallahu ’alaihi wa sallam mengharuskan beberapa hal, di antaranya:

[1] Membela para sahabat Nabi –radhiyallahu ’anhum-

Rasulullah shallahu ’alaihi wa sallam bersabda,

لَا تَسُبُّوا أَحَدًا مِنْ أَصْحَابِي فَإِنَّ أَحَدَكُمْ لَوْ أَنْفَقَ مِثْلَ أُحُدٍ ذَهَبًا مَا أَدْرَكَ مُدَّ أَحَدِهِمْ وَلَا نَصِيفَهُ

”Janganlah mencaci maki salah seorang sahabatku. Sungguh, seandainya salah seorang di antara kalian menginfakkan emas sebesar gunung Uhud, maka itu tidak menyamai satu mud (yang diinfakkan) salah seorang mereka dan tidak pula separuhnya.”[10]

Di antara hak-hak para sahabat adalah mencintai dan meridhoi mereka. Sebagaimana Allah Ta’ala berfirman,

وَالَّذِينَ جَاءُوا مِنْ بَعْدِهِمْ يَقُولُونَ رَبَّنَا اغْفِرْ لَنَا وَلِإِخْوَانِنَا الَّذِينَ سَبَقُونَا بِالْإِيمَانِ وَلَا تَجْعَلْ فِي قُلُوبِنَا غِلًّا لِلَّذِينَ آَمَنُوا رَبَّنَا إِنَّكَ رَءُوفٌ رَحِيمٌ

“Dan orang-orang yang datang sesudah mereka (Muhajirin dan Anshor), mereka berdoa: “Ya Rabb kami, beri ampunlah kami dan saudara-saudara kami yang telah beriman lebih dulu dari kami, dan janganlah Engkau membiarkan kedengkian dalam hati kami terhadap orang-orang yang beriman; Ya Rabb kami, Sesungguhnya Engkau Maha Penyantun lagi Maha Penyayang.”
(QS. Al Hasyr: 10)

Sungguh aneh jika ada yang mencela sahabat sebagaimana yang dilakukan oleh Rafidhah (Syi’ah). Mereka sama saja mencela Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Imam Malik dan selainnya rahimahumullah mengatakan, “Sesungguhnya Rafidhah hanyalah ingin mencela Rasul. Jika seseorang mengatakan bahwa orang itu jelek, maka berarti sahabat-sahabatnya juga jelek. Jika seseorang mengatakan bahwa orang itu sholih, maka sahabatnya juga demikian.”[11] Ibnu Taimiyah rahimahullah mengatakan, “Adapun Rafidhah, maka merekalah orang-orang yang sering mencela sahabat Nabi dan perkataan mereka. Hakikatnya, apa yang ada di batin mereka adalah mencela risalah Muhammad.”[12]

[2] Membela para isteri Nabi, para Ummahatul Mu’minin –radhiyallahu ’anhunna-

Imam Malik rahimahullah mengatakan, “Siapa saja yang mencela Abu Bakr, maka ia pantas dihukum cambuk. Siapa saja yang mencela Aisyah, maka ia pantas untuk dibunuh.” Ada yang menanyakan pada Imam Malik, ”Mengapa bisa demikian?” Beliau menjawab, ”Barangsiapa mencela mereka, maka ia telah mencela Al Qur’an karena Allah Ta’ala berfirman (agar tidak lagi menyebarkan berita bohong mengenai Aisyah, pen),

يَعِظُكُمَ اللَّهُ أَنْ تَعُودُوا لِمِثْلِهِ أَبَدًا إِنْ كُنْتُمْ مُؤْمِنِينَ

“Allah memperingatkan kamu agar (jangan) kembali memperbuat yang seperti itu selama-lamanya, jika kamu orang-orang yang beriman.”
(QS. An Nur: 17) ”[13]

Ketujuh:
Membela ajaran (sunnah) Nabi shallallahu ’alaihi wa sallam

Termasuk membela ajaran beliau shallallahu ’alaihi wa sallam ialah memelihara dan menyebarkannya, menjaganya dari ulah kaum batil, penyimpangan kaum yang berlebih-lebihan dan ta’wil (penyimpangan) kaum yang bodoh, begitu pula dengan membantah syubhat kaum zindiq  dan pengecam sunnahnya, serta menjelaskan kedustaan-kedustaan mereka. Rasulullah shallallahu ’alaihi wa sallam telah mendo’akan keceriaan wajah bagi siapa yang membela panji sunnah ini dengan sabdanya,

نَضَّرَ اللَّهُ امْرَأً سَمِعَ مِنَّا شَيْئًا فَبَلَّغَهُ كَمَا سَمِعَهُ فَرُبَّ مُبَلِّغٍ أَوْعَى مِنْ سَامِعٍ

“Semoga Allah memberikan kenikmatan pada seseorang yang mendengar sabda kami lalu ia menyampaikannya sebagaimana ia mendengarnya. Betapa banyak orang yang diberi berita lebih paham daripada orang yang mendengar.”[14]

Kedelapan: Menyebarkan ajaran Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam

Di antara kesempurnaan cinta dan pengagungan kepada Nabi shallallahu ’alaihi wa sallam ialah berkeinginan kuat untuk menyebarkan ajaran (sunnah)nya. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

بَلِّغُوا عَنِّي وَلَوْ آيَةً

“Sampaikanlah dariku walaupun satu ayat.”[15] Yang disampaikan pada umat adalah yang berasal dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bukan sesuatu yang tidak ada tuntunannya.

Bukti Cinta Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam Bukanlah dengan Berbuat Bid’ah

Sebagaimana telah kami sebutkan di atas bahwa di antara bukti cinta Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah dengan menyebarkan sunnah (ajaran) beliau. Oleh karenanya, konsekuensi dari hal ini adalah dengan mematikan bid’ah, kesesatan dan berbagai ajaran menyimpang lainnya. Karena sesungguhnya melakukan bid’ah (ajaran yang tanpa tuntunan) dalam agama berarti bukan melakukan kecintaan yang sebenarnya, walaupun mereka menyebutnya cinta."[16]

Oleh karenanya, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

مَنْ أَحْدَثَ فِى أَمْرِنَا هَذَا مَا لَيْسَ مِنْهُ فَهُوَ رَدٌّ

“Barangsiapa membuat suatu perkara baru dalam agama kami ini yang tidak ada asalnya, maka perkara tersebut tertolak.”[17]

Kecintaan pada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam yang sebenarnya adalah dengan tunduk pada ajaran beliau, mengikuti jejak beliau, melaksanakan perintah dan menjauhi larangan serta bersemangat tidak melakukan penambahan dan pengurangan dalam ajarannya."[18]

Contoh cinta Nabi shallallahu ‘alahi wa sallam yang keliru adalah dengan melakukan bid’ah maulid nabi. Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah mengatakan, “Adapun melaksanakan perayaan tertentu selain dari hari raya yang disyari’atkan (yaitu Idul Fithri dan Idul Adha) seperti perayaan pada sebagian malam dari bulan Rabi’ul Awwal (yang disebut dengan malam Maulid Nabi), perayaan pada sebagian malam Rojab, hari ke-8 Dzulhijjah, awal Jum’at dari bulan Rojab atau perayaan hari ke-8 Syawal -yang dinamakan orang yang sok pintar (alias bodoh) dengan ’Idul Abror-; ini semua adalah bid’ah yang tidak dianjurkan oleh para salaf (sahabat yang merupakan generasi terbaik umat ini) dan mereka juga tidak pernah melaksanakannya.”[19]

Nantikan pembahasan kami tentang perayaan Maulid Nabi, sejarah dan pandangan ulama mengenai perayaan tersebut. Semoga Allah mudahkan.
  1. Tafsir Al Qur’an Al ‘Azhim, Ibnu Katsir, 7/164, Muassasah Al Qurthubah.
  2. Ruhul Ma’ani, Syihabuddin Al Alusi, 16/42, Mawqi’ At Tafaasir.
  3. HR. Bukhari no. 6632.
  4. HR. Muslim no. 2276, Watsilah bin Al Asqo’
  5. I’lamul Muwaqi’in ‘an Robbil ‘Alamin, Ibnu Qayyim Al Jauziyah, 1/7, Darul Jail, 1973.
  6. HR. Tirmidzi no. 3546 dan Ahmad (1/201). At Tirmidzi mengatakan hadits ini hasan shohih ghorib. Syaikh Al Albani mengatakan hadits ini shahih
  7. Diriwayatkan oleh Ath Thobroniy dalam Al Mu’jam Al Kabir no. 8770. Al Haytsamiy mengatakan dalam Majma’ Zawa’id bahwa para perowinya adalah perawi yang dipakai dalam kitab shohih.
  8. Majmu’ Al Fatawa, Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah, 28/471, Darul Wafa’, cetakan ketiga, tahun 1426 H.
  9. HR. Bukhari no. 2805, 4048 dan Muslim no. 1903.
  10. HR. Muslim no. 2541.
  11. Minhajus Sunnah An Nabawiyah, Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah, 7/459, Muassasah Qurthubah, cetakan pertama, tahun 1406 H.
  12. Minhajus Sunnah An Nabawiyah, 3/463.
  13. Ash Shorim Al Maslul ‘ala Syatimir Rosul, Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah, hal. 568, Dar Ibnu Hazm, cetakan pertama, tahun 1417 H.
  14. HR. Abu Daud no. 3660, At Tirmidz no. 2656, Ibnu Majah no. 232 dan Ahmad (5/183). Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini shahih. Lihat makna hadits ini dalam Faidul Qodir, Al Munawi, 6/370, Mawqi’ Ya’sub.
  15. HR. Bukhari no. 3461
  16. Lihat penjelasan dalam tulisan Mahabbatun Nabi wa Ta’zhimuhu (yang terdapat dalam kumpulan risalah Huququn Nabi baina Ijlal wal Ikhlal), ‘Abdul Lathif bin Muhammad Al Hasan, hal. 89, Maktabah Al Mulk Fahd, cetakan pertama, 1422 H.
  17. HR. Bukhari no. 20 dan Muslim no. 1718
  18. Lihat Mahabbatun Nabi wa Ta’zhimuhu, hal. 89.
  19. Majmu’ Fatawa, 25/298.
Muhammad Abduh Tuasikal, MSc
Pernah mengenyam pendidikan S1 di Teknik Kimia UGM Yogyakarta dan S2 Polymer Engineering di King Saud University Riyadh. Pernah menimba ilmu diin dari Syaikh Sholeh Al Fauzan, Syaikh Sa'ad Asy Syatsri, dan Syaikh Sholeh Al 'Ushoimi. Aktivitas beliau sebagai Pimpinan Pesantren Darush Sholihin Gunungkidul, Pengasuh Rumaysho.Com, serta Pimpinan Redaksi Muslim.Or.Id.
Sumber: http://rumaysho.com/jalan-kebenaran/bukti-cinta-nabi-yang-benar-dan-keliru-867